Rabu, 30 Januari 2013

aliran mu'tazilah, qadariyah, dan jabariyah



 

ALIRAN MU’TAZILAH, QADARIYAH, dan JABARIYAH

Makalah Ini Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

ILMU KALAM

 

 

 

 

 

 

 

Oleh:

Lukmanul Hakim
NIM : E73212106

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Muzayyanah Mu’tashim Hasan, MA


FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012




KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. wb
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga serta para sahabat dan mereka yang menyeru dengan seruannya serta berpedoman dengan petunjuknya.
Alhamdulillah syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala kasih sayang-Nya, makalah yang berjudul “aliran Mu’tazilah, Qadariah, dan Jabariyah” ini telah selesai. Semua itu tak lepas dari dukungan serta motivasi dari beberapa pihak. Maka, tak lupa kami ucapkan terimakasih atas semua bantuan serta keikhlasannya sehingga makalah ini bisa selesai. Meskipun masih banyak sekali kekurangan baik dari segi pembahasan maupun tulisan.
 Manusia tempatnya salah dan lupa, namun sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang mau bertobat dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Dari sanalah kami harapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan kelancaran proses pembelajaran  kami dan demi kebaikan kita bersama.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membawa manfaat baik bagi diri kami sendiri maupun kita semua serta bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin ya robbal ‘alamin . .

Wassalamu’alaikum wr. wb







DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................... i
Daftar isi......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................... 1
1.3  Tujuan................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 2
a.       Mu’tazilah........................................................................................................... 2
1.      Sejarah kemunculan Mu’tazilah.................................................................... 2
2.      Al-Ushul Al-Khamsah.................................................................................. 3
b.      Qadariah............................................................................................................. 5
1.      Sejarah kemunculan Qadariyah.................................................................... 5
2.      Doktrin – doktrin Qadariyah........................................................................ 5
c.       Jabariyah ............................................................................................................ 6
1.      Sejarah kemunculan Jabariyah...................................................................... 6
2.      Doktrin – doktrin Jabariyah.......................................................................... 7
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 11

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia berada di dalamnya. Tuhan maha Kuasa atas segala sesuatu. Tuhan pun mempunyai kehendak yang bersifat mutlak terhadap hamba – hambanya. Dari sifat Tuhan yang berkehendak dan berkekuasaan mutlak ini, mulailah timbul berbagai pertanyaan – pertanyaan dan persoalan – persoalan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya.

1.2  Rumusan Masalah
Maka dari itu, kami merumuskan masalah tersebut sebagai berikut :
  1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah, Qadariah, dan Jabbariyah ?
  2. Apa saja ajaran dalam teologi Mu’tazilah?
  3. Bagaimana doktrin – doktrin Qadariyah dan Jabariyah ?

1.3  Tujuan
  1. Untuk mengetahui dan memahami sejarah munculnya aliran Mu’tazilah, Qadariah, dan Jabbariyah.
  2. Untuk mengetahui dan memahami ajaran - ajaran dalam teologi Mu’tazilah.
  3. Untuk mengetahui dan memahami doktrin – doktrin Qadariyah dan Jabariyah.








BAB II
PEMBAHASAN

A.     MU’TAZILAH
1.      Sejarah Kemunculan Mu’tazilah
                         Secara harfiah, mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri . Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjukan pada dua golongan[1].
Golongan pertama, muncul sebagai respon politik murni. Pada asalnya golongan jama’ah initumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya daalam artian sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan – lawannya, terutama dengan Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah ibn Zubair[2]. Itulah asal mula disebut golongan Mu’tazilah, mereka adalah golongan netralis tanpa stigma teologis seperti Mu’tazilah yang tumbuh di periode selanjutnya. 
        Golongan kedua, sebagai respon persoalan teologi yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir pada orang yang berbuat dosa besar[3] . Di kisah ini dinyatakan bahwasannya Washil ibn Atha’ mempertahankan pendiriannya tentang pelaku dosa besar di hadapan Hasan Basri dan para murid – muridnya, kemudian ia memisahkan diri. Dari kisah inilah Hasan Basri menyebut Washil ibn Atha’ dan sahabat – sahabatnya yang sependirian pula dengan nama Mu’tazilah.
        Dua golongan ini sama – sama mempunyai corak politik. Golongan pertama politik murni, sedangkan golongan kedua pun juga membahas praktek – praktek politik yang dilakukan Usman, ‘Ali, Mu’awiyah, dan sebagainya. Letak perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan – persoalan teologi dan falsafat ke dalam ajaran – ajaran dan pemikiran mereka[4].
2.      Al – Ushul Al – Khamsah
Al – Ushul Al – Khamsah ini maksudnya adalah lima ajaran pokok atau lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah. Dan lima ajaran ini antara lain :

a.    At – Tauhid
At – Tauhid atau pengesaan Tuhan merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap madzhab memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik[5]. Maksudnya ialah bahwa Tuhan-lah satu–satunya yang Maha Esa dan tak ada satu pun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).
Untuk memurnikan keesan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat – sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya[6].
b.    Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar – benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik, dan bukan yang tidak baik[7].
Tuhan memberikan daya kepada manusia untuk dapat memikul beban – beban yang diletakkan Tuhan di atas pundaknya, menerangkan hakekat akan beban – beban itu dan memberi hukuman atas perbuatan – perbuatannya. Dan kalau Tuhan memberikan siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia, jika tidak demikian maka berarti Tuhan melalaikan kewajiban kewajibannya[8].
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini.
1.   Perbuatan Manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan  dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara secara langsung atau tidak. Manusia benar – benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk[9].
2.   Berbuat baik daan terbaik
Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berlaku jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan Penjahat dan Penganiaya. Itu adalah sebutan yang sangat tak layak untuk Tuhan. Jika Tuhan melakukan hal demikian, itu berarti Tuhan tidak adil dan Maha Sempurna[10].
3.   Mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal- hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukan pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan . Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan dia akhirat nanti.
c.    Kewajiban Menepati Janji (al-Wa’d) dan Ancaman (al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk member pahala kepada orang yang berbuat baik ; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
d.    Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula – mula menyebabkan lahirnya madzhab Mu’tazilah ini. Karena perbedaan pendapat saat memberikan status kepada pelaku dosa besar.
e.       Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima ini adalah menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemunkaran. Hal ini  merupakan konsekuensi logis untuk orang yang mengaku beriman. Dan di bawah ini syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar menurut seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar,
1.    Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang adalah hal yang munkar.
2.    Mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
3.    Mengethaui bahwa amr ma’fuf nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
4.    Mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya[11].
5.    Mengetahui atau setidaaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil[12].

B.     Qadariyah
1.      Sejarah Kemunculan Qadariyah
            Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri[13].
                                    Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dalam bahasa Inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act[14].
                                    Padahal seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menetukan segala tingkah laku manusia,baik yang bagus maupun yang jahat[15]. Tapi sebutan ini sudah terlalu melekat pada masing -0 masing diri orang – orang Sunni. Mereka percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk berkehendak  sesuai keinginannya sendiri.
2.      Doktrin – Doktrin Qadariyah
 Ahmad amin berpendapat bahwa doktrin tentang qadar lebih luas, dikupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab paham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, sering sekali menamakan Qodariyah dengan nama Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mepunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
             Harun nasution menjelaskan bahwa pendapat Ghailan tentang doktrin Qodariyah bahwa manusia berkuasa atas pebuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri[16]. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, is berkuasa atas segala perbuatannya[17].
Dari penjelasan – penjelasan di atas, dapat disimpulakan bahwa doktrin aliran Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku yang diperbuat manusia adalah atas kehendaknya dan kemauannya sendiri, baik itu perbuatan yang baik maupun yang buruk.maka dari itu, manusia berhak mendapatkan imbalan dari apa – apa yang telah dilakukannya. Jika ia berbuat baik maka ia berhak mendapatkan pahala, dan jika ia berbuat jelek atau buruk mak ia pun berhak mendapatkan dosa atas tingkah lakunya tersebut. Semua itu bukan semata – mata karena takdir Tuhan, tapi berdasarkan pilihan yang telah diambilnya. Bagi mereka, sungguh tidak pantas manusia mendapatkan dosa dan siksaan jika bukan atas keinginannya sendiri.
C.     JABARIYAH
1.      Sejarah Munculnya Jabariyah
             Secara bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan bahwa Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk muballaghah), itu artinya bahwa Allah Maha Memaksa[18].
Sedangkan secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) .
Menurut Harun Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.  
Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah diantaranya:
1.         Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir   Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2. Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
4. Pada pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah[19].
2. Doktrin – Doktrin Aliran Jabariyah
            Jabariyah sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.      Jabariyah ekstrim
Jabariyah ekstrim ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya[20]. Di antara pemuka golongan ini antara lain :
1. Jahm Ibnu Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib, juga seorang tabi’in berasal dari Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan dalam pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia dibunuh karena masalah politik dan tidak ada kaiatannya dengan agama.
Sebagai penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk .
Pendapatnya mengenai persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya dengan konsep Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
d. Kalam Tuhan adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
2.      Al-Ja’d bin Dirham
Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan . Ajaran pokok Ja’d bin Dirham secara umum sama dengan pikiran Jahm.
 Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
a.    Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan Allah.
b.    Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat, mendengar.
c.    Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya[21].

b.      Jabariyah moderat
Jabariyah moderat ini berpendapat bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik. Tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan .
 Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
1)      An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1.Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab.
2.Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
2) Adh-Dhirar
Nama lengkapnya ialah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yaitu manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata – mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan – perbuatannya[22].  















BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, baik aliran qadariyah maupun jabariyah nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-Quran. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam.
 Namun pendapat mana yang lebih baik tidaklah bisa dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di akhirat nanti. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia.




















DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam,Jakarta : UI Press.
Rosihon Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,2012, Ilmu Kalam, Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press.




[1] Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam,Pustaka Setia,Bandung,2011, hlm 77.
[2] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,Ilmu Kalam,IAIN Sunan Ampel press,Surabaya,2012, hlm 81.
[3] ibid, hlm 81.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, ctkn V,1986, hlm 40.
[5] Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 80.
[6] ibid
[7] Ibid, hlm 83
[8] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,Ilmu Kalam,hlm 100.
[9]Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 83.
[10] Ibid, hlm 84.
[11] Ibid, hlm 86.
[12] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,Ilmu Kalam, hlm 104.
[13] Ibid, 117.
[14] ibid
[15] Prof.Dr. Rohison Anwar,M.Ag,Prof.Dr. Abdul Razak,M.Ag,Ilmu Kalam, hlm 70.
[16] Lihat Teologi Islam hlm 33
[17] Prof.Dr.Rohison Anwar,M.Ag,dkk, Ilmu Kalam, hlm 73.
[18] Ibid, hlm 63.
[19] Ibid, hlm 64.
[20] Ibid, hlm 67.
[21] Ibid, hlm 67.
[22] Ibid, hlm 69.

1 komentar: