ALIRAN MU’TAZILAH, QADARIYAH, dan JABARIYAH
Makalah Ini
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ILMU KALAM”
Oleh:
Lukmanul
Hakim
NIM : E73212106
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Muzayyanah
Mu’tashim Hasan, MA
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. wb
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga serta para sahabat dan mereka yang menyeru dengan seruannya
serta berpedoman dengan petunjuknya.
Alhamdulillah syukur kehadirat Allah SWT, karena
atas segala kasih sayang-Nya, makalah yang berjudul “aliran
Mu’tazilah, Qadariah, dan Jabariyah” ini telah selesai. Semua itu tak lepas
dari dukungan serta motivasi dari beberapa pihak. Maka, tak lupa kami ucapkan terimakasih atas semua bantuan serta keikhlasannya
sehingga makalah ini bisa selesai. Meskipun masih
banyak sekali kekurangan baik dari segi pembahasan maupun tulisan.
Manusia tempatnya salah dan lupa, namun sebaik-baik orang yang bersalah
adalah mereka yang mau bertobat dan berusaha memperbaiki kesalahannya. Dari sanalah kami harapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan dan kelancaran proses
pembelajaran kami dan demi kebaikan kita
bersama.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membawa
manfaat baik bagi diri kami sendiri maupun kita semua serta bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya. Amin ya
robbal ‘alamin . .
Wassalamu’alaikum wr. wb
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................... i
Daftar isi......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 1
1.3 Tujuan................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 2
a.
Mu’tazilah........................................................................................................... 2
1.
Sejarah kemunculan Mu’tazilah.................................................................... 2
2.
Al-Ushul Al-Khamsah.................................................................................. 3
b.
Qadariah............................................................................................................. 5
1.
Sejarah kemunculan Qadariyah.................................................................... 5
2.
Doktrin – doktrin Qadariyah........................................................................ 5
c.
Jabariyah ............................................................................................................ 6
1.
Sejarah kemunculan Jabariyah...................................................................... 6
2.
Doktrin – doktrin Jabariyah.......................................................................... 7
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 11
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia
berada di dalamnya. Tuhan maha Kuasa atas segala sesuatu. Tuhan pun mempunyai kehendak
yang bersifat mutlak terhadap hamba – hambanya. Dari sifat Tuhan yang
berkehendak dan berkekuasaan mutlak ini, mulailah timbul berbagai pertanyaan –
pertanyaan dan persoalan – persoalan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan
Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
1.2
Rumusan Masalah
Maka dari itu, kami
merumuskan masalah tersebut sebagai
berikut :
- Bagaimana sejarah munculnya aliran Mu’tazilah, Qadariah, dan Jabbariyah ?
- Apa saja ajaran dalam teologi Mu’tazilah?
- Bagaimana doktrin – doktrin Qadariyah dan Jabariyah ?
1.3
Tujuan
- Untuk mengetahui dan memahami sejarah munculnya aliran Mu’tazilah, Qadariah, dan Jabbariyah.
- Untuk mengetahui dan memahami ajaran - ajaran dalam teologi Mu’tazilah.
- Untuk mengetahui dan memahami doktrin – doktrin Qadariyah dan Jabariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MU’TAZILAH
1.
Sejarah Kemunculan Mu’tazilah
Secara
harfiah, mu’tazilah berasal dari kata I’tazala
yang berarti berpisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri . Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjukan pada dua
golongan[1].
Golongan
pertama, muncul sebagai respon politik
murni. Pada asalnya
golongan jama’ah initumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya daalam artian
sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan – lawannya, terutama dengan Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah ibn Zubair[2].
Itulah asal mula disebut golongan Mu’tazilah, mereka adalah golongan netralis
tanpa stigma teologis seperti Mu’tazilah yang tumbuh di periode
selanjutnya.
Golongan
kedua,
sebagai respon persoalan teologi yang berkembang di kalangan Khawarij dan
Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status
kafir pada orang yang berbuat dosa besar[3] . Di kisah ini dinyatakan bahwasannya Washil ibn Atha’
mempertahankan pendiriannya tentang pelaku dosa besar di hadapan Hasan Basri
dan para murid – muridnya, kemudian ia memisahkan diri. Dari kisah inilah Hasan
Basri menyebut Washil ibn Atha’ dan sahabat – sahabatnya yang sependirian pula
dengan nama Mu’tazilah.
Dua golongan
ini sama – sama mempunyai corak politik. Golongan pertama politik murni,
sedangkan golongan kedua pun juga membahas praktek – praktek politik yang
dilakukan Usman, ‘Ali, Mu’awiyah, dan sebagainya. Letak perbedaan antara
keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan – persoalan teologi
dan falsafat ke dalam ajaran – ajaran dan pemikiran mereka[4].
2. Al
– Ushul Al – Khamsah
Al – Ushul Al – Khamsah ini maksudnya adalah lima ajaran pokok atau lima
ajaran dasar teologi Mu’tazilah. Dan lima ajaran ini antara lain :
a.
At
– Tauhid
At – Tauhid atau pengesaan Tuhan merupakan prinsip utama dan intisari
ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap madzhab memegang doktrin ini. Namun, bagi
Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik[5].
Maksudnya ialah bahwa Tuhan-lah satu–satunya yang Maha Esa dan tak ada satu pun
yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang Qadim. Bila ada yang
qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat
yang tak berpermulaan).
Untuk memurnikan keesan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan
memiliki sifat – sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu
Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya[6].
b.
Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha
Adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan
kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini
bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar – benar adil menurut sudut pandang
manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik,
dan bukan yang tidak baik[7].
Tuhan memberikan daya kepada manusia untuk dapat memikul beban – beban yang
diletakkan Tuhan di atas pundaknya, menerangkan hakekat akan beban – beban itu
dan memberi hukuman atas perbuatan – perbuatannya. Dan kalau Tuhan memberikan
siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan maslahat manusia, jika
tidak demikian maka berarti Tuhan melalaikan kewajiban kewajibannya[8].
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain
berikut ini.
1. Perbuatan
Manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas
dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara secara langsung atau tidak.
Manusia benar – benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau
buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk[9].
2. Berbuat
baik daan terbaik
Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk
manusia. Tuhan tidak mungkin berlaku jahat dan aniaya karena akan menimbulkan
kesan bahwa Tuhan Penjahat dan Penganiaya. Itu adalah sebutan yang sangat tak
layak untuk Tuhan. Jika Tuhan melakukan hal demikian, itu berarti Tuhan tidak
adil dan Maha Sempurna[10].
3. Mengirimkan
Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah dengan
kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal- hal gaib, pengiriman rasul
tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukan pengiriman Rasul kepada umat
manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan . Argumentasi mereka adalah kondisi
akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia
tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang
baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa Rasul, manusia
tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan dia akhirat nanti.
c. Kewajiban
Menepati Janji (al-Wa’d) dan Ancaman (al-Wa’id)
Janji dan
ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal
ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat
tidak adil jika tidak menepati janji untuk member pahala kepada orang yang
berbuat baik ; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya
keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan
maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan
menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
d.
Al-Manzilah
bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula – mula menyebabkan lahirnya madzhab Mu’tazilah ini.
Karena perbedaan pendapat saat memberikan status kepada pelaku dosa besar.
e.
Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima ini adalah menyuruh kepada kebajikan dan melarang
kemunkaran. Hal ini merupakan
konsekuensi logis untuk orang yang mengaku beriman. Dan di bawah ini syarat
yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar
menurut seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar,
1.
Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang adalah
hal yang munkar.
2.
Mengetahui
bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
3.
Mengethaui
bahwa amr ma’fuf nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
4.
Mengetahui
atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan
hartanya[11].
5.
Mengetahui
atau setidaaknya menyangka bahwa usahanya akan berhasil[12].
B. Qadariyah
1. Sejarah
Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab,
yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi,
qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya
atas kehendaknya sendiri[13].
Berdasarkan
pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu
aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum
qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan
untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Dalam bahasa Inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act[14].
Padahal seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang
berpendapat bahwa qadar menetukan segala tingkah laku manusia,baik yang bagus
maupun yang jahat[15].
Tapi sebutan ini sudah terlalu melekat pada masing -0 masing diri orang – orang
Sunni. Mereka percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk berkehendak sesuai keinginannya sendiri.
2. Doktrin
– Doktrin Qadariyah
Ahmad amin berpendapat bahwa doktrin tentang
qadar lebih luas, dikupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab paham ini juga
menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, sering sekali menamakan
Qodariyah dengan nama Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya
bahwa manusia mepunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan
Tuhan.
Harun nasution menjelaskan bahwa pendapat
Ghailan tentang doktrin Qodariyah bahwa manusia berkuasa atas
pebuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri[16].
Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia
hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, is berkuasa atas
segala perbuatannya[17].
Dari penjelasan – penjelasan di atas, dapat disimpulakan bahwa doktrin
aliran Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku yang
diperbuat manusia adalah atas kehendaknya dan kemauannya sendiri, baik itu
perbuatan yang baik maupun yang buruk.maka dari itu, manusia berhak mendapatkan
imbalan dari apa – apa yang telah dilakukannya. Jika ia berbuat baik maka ia
berhak mendapatkan pahala, dan jika ia berbuat jelek atau buruk mak ia pun
berhak mendapatkan dosa atas tingkah lakunya tersebut. Semua itu bukan semata –
mata karena takdir Tuhan, tapi berdasarkan pilihan yang telah diambilnya. Bagi
mereka, sungguh tidak pantas manusia mendapatkan dosa dan siksaan jika bukan
atas keinginannya sendiri.
C.
JABARIYAH
1. Sejarah
Munculnya Jabariyah
Secara bahasa jabariyah berasal dari
kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid
dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan bahwa Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk
muballaghah), itu artinya bahwa Allah Maha Memaksa[18].
Sedangkan secara
istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan
perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) .
Menurut Harun
Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia
telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap
perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun
diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai
kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang
mengistilahkan bahwa jabariyah
aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
Sebenarnya
benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah
diantaranya:
1.
Suatu ketika Nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan
persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat
Tuhan mengenai takdir.
2. Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
2. Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3.
Ketika Ali bin Abi
Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala.
Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan
qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya
qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa,
gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang
baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
4.
Pada pemerintahan Daulah Bani
Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin
Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang
diduga berfaham Jabariyah[19].
2. Doktrin – Doktrin Aliran Jabariyah
Jabariyah sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Jabariyah
ekstrim
Jabariyah ekstrim ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya[20].
Di antara pemuka golongan ini antara lain :
1. Jahm
Ibnu Shafwan
Nama
lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib,
juga seorang tabi’in berasal dari Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah,
ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris
Harits bin Surais seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di
Khurasan. Ia ditawan dalam pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia
dibunuh karena masalah politik dan tidak ada kaiatannya dengan agama.
Sebagai
penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang
tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk .
Pendapatnya
mengenai persoalan teologi adalah sebagai berikut:
a. Manusia tidak
mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
b.
Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c.
Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya
dengan konsep Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
d.
Kalam Tuhan adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan
dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan
tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
2.
Al-Ja’d
bin Dirham
Ja’d
adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam
lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya
untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak
pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah
dan disana ia bertemu dengan Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan . Ajaran
pokok Ja’d bin Dirham secara umum sama dengan pikiran Jahm.
Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak
dapat disifatkan Allah.
b. Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat,
mendengar.
c. Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya[21].
b.
Jabariyah moderat
Jabariyah moderat ini berpendapat bahwa Tuhan
memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik. Tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud
dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh
Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula
menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan
Tuhan .
Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah
sebagai berikut:
1) An-Najjar
Nama
lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya
adalah:
1.Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab.
2.Tuhan tidak
dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan bahwa Tuhan dapat
saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat
melihat Tuhan.
2) Adh-Dhirar
Nama lengkapnya ialah Dhirar
bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar,
yaitu manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata – mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu
sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan – perbuatannya[22].
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, baik aliran qadariyah maupun jabariyah
nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan sekalipun mereka
sama-sama berpegang pada al-Quran. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya
kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam.
Namun pendapat mana yang lebih baik tidaklah
bisa dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan di
akhirat nanti. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam pandangan
manusia mungkin bisa dilakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut
dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik
adalah apabila ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam,Jakarta : UI Press.
Rosihon
Anwar, dkk, 2006, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,2012, Ilmu Kalam, Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel,2012, Ilmu Kalam, Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press.
Ruudfjiogjjhjj
BalasHapus